Sunday, March 25, 2012

Somewhere Only We Know.... (Iseng ikut kuis)

EPILOG
SOMEWHERE ONLY WE KNOW

Hujan adalah saat yang paling membuat kita sebal. Kamu tahu kan’ kita biasa berteduh dimana?
Farah hanya menggeleng tidak percaya membaca SMS dan dengan apa yang dipikirkan si misterius hobi ngasih teka-teki itu. Tapi, apakah tidak bisa sebentar saja si freak ganteng itu menempatkan Farah sebagai first lady dalam hatinya dan tidak memasukkan sesuatu yang rumit macam begini dalam kencan? Tidak bisakah dia hanya memberi kue saja untuk merayakan first anniversary hubungan mereka?
“Mau kamu apa sih, Wan…” desah Farah lelah. Ia sudah berada di kedai es krim langganan mereka sejak mereka kecil. Tidak berubah. Tetap hangat walau yang disajikan bisa membuat mulutmu beku. Kedai ini adalah kenangan saat mereka SD. Memesan es krim sampai hujan reda tidak peduli cuaca dingin sekalipun jika mereka kehujanan. Farah tidak bisa menyangkal rasa apapun yang ditawarkan kedai ini walau resepnya masih resep tradisional.
“Butterscotch vanilla,” tiba-tiba Mbak Niar, sudah memberi Farah es krim yang biasa dipesan. Tapi dengan miris kali ini Farah terpaksa menolaknya.
“Aduuh sorry Mbak, hari ini aku…”
“Ini gratis Fay.” Tiba-tiba Mbak Niar menyela sambil tersenyum. Dengan gamang dan lebih banyak perasaan bingung Farah menerima dan menjilati scoop es itu. Tanpa sadar seperti yang biasa Farah lakukan, menggunakan tissue yang membungkus cone untuk melap pinggiran es. Tapi anehnya Farah tidak menemukan tissue yang biasanya. Tapi kertas koran lama. Dan ada artikel yang sengaja sekali dilingkari dengan spidol. Pemerintah Mencanangkan Sumbangan Buku Setiap Tahun.
Apalagi ini? Ya ampun Awan, tidak bisakah kamu tinggalkan sifat pendiam dan misteriusmu? Belajarlah bicara terang-terangan! Gerutu Farah dalam hati. Tapi tunggu… Buku? Hei, itu mengingatkanku pada tempat yang disebut ‘dunia kecil’nya, batin Farah sorak sorai.  Segera Farah memacu sepedanya ke Perpustakaan Kota.
    Namun Farah kembali galau ketika berada di dalam perpustakaan. Tempat ini punya buku yang nggak main-main jumlahnya. Lalu, apa yang musti dia cari disini? Farah kembali lunglai. Ia mulai tergoda menelepon Awan padahal Awan sudah melarang agar tidak meneleponnya sampai semua task selesai. Farah mulai merasakan perasaan menyesal. Ia malu memikirkan bagaimana dulu waktu SMP ia dengan kejam meninggalkan Awan yang introvert dan bergaul dengan Saski dan kawan-kawan populernya. Kalau ia bisa terus bersama Awan, ia nggak harus menjadi mak comblang Rena, salah satu teman populernya itu, yang baru sadar daya tarik fisik Awan muncul saat SMA, dan sialnya Farah merasakan hal yang sama dengan Rena sehingga mereka ‘berebut’ Awan. Dia harusnya bersama Awan terus sehingga ia tahu buku macam apa yang selalu dibaca Awan!
    Farah bertopang dagu di meja. Lelah berpikir tapi samar-samar ia renungkan. Awan selalu suka tempat duduk di sebelah jendela, dan Farah melihat sesuatu disana. Daun mangga. Tidak ada pohon mangga di perpustakaan. Farah segera mengamati daun tersebut dengan seksama. Jelas sekali ini dipetik, masih hijau dan mengeluarkan aroma khas mangga muda. Hei, ini mangga kepodang. Satu-satunya pohon mangga jenis ini…
Astaga. Kenapa nggak kepikiran sih? rutuk Farah dalam hati.
Farah segera melesat lagi mengambil sepedanya dan memacunya di halaman belakang SD nya dulu. Celingak-celinguk mengamati keadaan sekolah dasar yang lengang. Yang benar saja, ini memang hari Minggu. Ia segera menuju satu-satunya pohon kepodang yang berdiri angkuh diantara pohon mangga jenis Manalagi. Farah tersenyum haru, merasakan sentimental bergelayut di hatinya. Astaga, Awan ingat tempat ini, tempat lomba panjat dahan saat mereka SD. Tempat Awan menggenggam tangannya saat semua teman it girls nya memusuhinya dan keluarganya terancam bubar jalan setahun lalu.
Tapi, senyum haru Farah berubah menjadi senyum geli ketika memandang beberapa ranting telah dipasangi balon-balon yang diisi helium. Entah, naluri dari mana, Farah segera mengambil balon berwarna biru. Warna yang menjadi favorit Awan. Ditengah senar balon terdapat kertas yang digulung dan dililitkan di senar. Farah membukanya.
Aku tahu kamu akan memilih yang biru. Kalaupun biru bukan yang pertama, kamu akan terus mencari. Namaku memang Awan karenanya aku suka biru, tapi aku lebih suka melihatmu yang seperti matahari menghangatkan langit biruku.
Farah kembali memasang wajah kesal dan bingung. Cuma ini? Ini bahkan lebih mirip puisi daripada teka-teki. Heran, Awan bisa romantis dan menyesatkan disaat yang bersamaan. Farah membolak-balik kertas. Tidak ada apa-apa selain kertas suratnya ‘nggak Awan banget’. Gambar bunga matahari. Eh? Bunga matahari?
Farah segera melesat lagi dengan wajah sumringah seperti matahari. Senyumnya tak bisa hilang. Ini adalah bulan Agustus. Musim panas. Disaat musim panas, pasti ‘itu’ akan banyak sekali. Farah segera memarkirkan sepedanya asal di tembok halaman belakang rumah kosong nomer 487. Rumah yang awalnya mempunyai gelar angker bagi Farah, namun image itu runtuh ketika Awan memberitahunya rumah kosong itu hanyalah rumah kosong biasa dengan halaman luas dan pohon-pohon besar, dan sejak kedekatannya (lagi) dengan Awan, Farah dan Awanlah yang mengurus halaman rumah ini. Tidak lagi menjadi kebun liar bersemak. Tapi sesuatu yang lain.
Taman bunga.
Kali ini hamparan bunga matahari yang merekah, menjulang setinggi satu meter. Berpadu dengan semak mawar dan aroma melati. Bahkan tanaman merambat seperti bunga terompet biru dan putih ikut merekah. Dinaungi pohon-pohon besar dan pohon trembesi yang menantang langit.
Salah satu hal yang menjadi kesamaan Farah dan Awan adalah kecintaan mereka akan tanaman. Farah menjadi lega, setidaknya ada satu hal yang akan mengikat mereka hingga waktu yang masih menjadi rahasia Tuhan. Tiba-tiba, ringtone handphone Farah berbunyi. Farah tidak perlu berpikir lagi siapa itu dan tidak perlu mengangkatnya.
“Akhirnya nyampe, kan?” Awan tiba-tiba sudah berada di belakang Farah.
“Kejam ya? Sudah tau aku nggak suka mikir ruwet, eh malah diajak main ginian.” rajuk Farah. Awan tersenyum tenang. Tetap berdiri canggung dengan wajah tampannya yang sayangnya selalu ditutupi rambut ‘biasa saja’ nya dan kacamata.
“Itu membuktikan kalau kamu lebih tau aku dari siapapun.” Awan berujar lirih.
Wajah Farah memerah. Awan mengacak-acak rambut Farah.
“Kali ini juga cantik ya?” gumam Awang sambil menatap hamparan bunga. Ia memberikan Farah sebotol air minum.
“Iya, kita berhasil bikin kebun yang cantik.” Jawab Farah lega dan bangga.
“Hmm.” Awang terpekur, “Tapi ‘bunga’ yang ini ditumbuhkan Tuhan dengan indah sekali, dan tampaknya akan jadi tugasku menjaganya. Yah, kalau bisa selamanya sih. Aku nggak mau nyari bunga lain untuk dijaga soalnya.”
Farah nggak ngeh untuk beberapa saat. Tapi ketika otaknya bisa bekerja lagi, wajahnya makin memerah. Awan menikmati sikap salah tingkah Farah.
    “Gimana kalau nabung supaya rumah ini jadi milik kita kelak?”
Awan bertanya yakin, dan Farah… tersenyum tulus. Bagi Awan itu cukup untuk mengganti kata ‘Iya’.
END

No comments:

Post a Comment